Facing Forward

Yo everyone! Nggak kerasa tahun 2015 udah mau berganti, dan mungkin ini bakal jadi tulisanku yang terakhir di tahun ini. Sebenarnya, ada banyak ide yang udah tertampung untuk kujadikan tulisan, namun, aku memutuskan untuk menceritakan kisah yang satu ini sebagai penutup tahun 2015. To be honest, aku nggak terlalu pengen membuat tulisan seperti ini, karena terkesan terlalu galau, lembek dan melankolis. Tapi, akhirnya kejadian juga deh.

Kira-kira bulan April tahun 2015 ini, aku akhirnya mengakhiri hubunganku dengan Aria. Waktu itu, kami memutuskan untuk berpisah karena ada masalah ketidakcocokan dalam banyak hal, seperti jarak, waktu, komunikasi, dan juga adaptasi dengan kehidupan kami masing-masing.

Dalam keputusan kami ini, aku nggak mau menyalahkan siapapun dan apapun. Kami mengakhiri hubungan kami dengan baik-baik, tanpa ada yang harus mengeluarkan kata-kata menyakitkan atau meneteskan air mata. Hanya lewat sebuah tombol di gadget, kami kembali menjadi teman biasa tanpa hubungan istimewa.

Setelah kembali menyandang status jomblo, aku merasakan cukup banyak perubahan yang terjadi pada diriku, atau mungkin perubahan ini lebih terlihat pada telepon genggamku. Nggak ada lagi yang kukirimi pesan singkat untuk sekedar menanyakan kabar, memintanya untuk menceritakan hari-harinya, atau kuajak berbincang mengenai kejadian-kejadian yang kualami. Nggak ada lagi yang kukirimi pesan kalau seandainya aku mempelajari hal baru di kampus, atau ada acara yang harus kuhadiri, atau cerita-cerita sepele seperti saat menemukan video yang menarik di internet.

Awalnya, semua terasa nggak terlalu banyak berbeda, kecuali soal waktu karena setelah kembali single, aku punya waktu lebih banyak saat weekend, dimana dulu saat masih berhubungan aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk bertemu dengan Aria saat weekend. Bahkan kadang waktu yang “lebih banyak” ini terasa “terlalu banyak” bagiku.

Seperti kata orang, untuk cowok, biasanya baru merasakan sepinya menjadi jomblo beberapa bulan setelah putus, begitu pula denganku. Tepatnya pada bulan November, sewaktu film The Hunger Games: Mockingjay pt.2 dirilis di pasaran. Ketika masih berpacaran dulu, aku sering memantau jadwal film di bioskop karena kami memang sama-sama hobi nonton. Setelah putus, kebiasaan ini berkurang selain karena aku juga semakin sibuk dengan kuliahku, kembaranku yang biasa menjadi teman nontonku selain Aria, bukan orang yang menikmati nonton film di bioskop terlalu banyak, genre-nya pun pilih-pilih. Jadilah aku melewatkan beberapa film epic, seperti Goosebumps, Spectre, dan Crimson Peak. Kelihatan banget ya aku nggak punya terlalu banyak teman buat diajak bareng, lol. :P

Oke, kembali ke Mockingjay pt.2. Kenapa film ini begitu spesial? Ketika film pertama dari trilogy The Hunger Games diputar di bioskop Indonesia kira-kira tahun 2011/2012, aku menonton film tersebut berdua dengan Aria. Setelah itu, kami selalu menonton film-film sekuelnya berdua, hingga akhirnya hubungan kami harus berakhir sebelum Mockingjay pt.2, film terakhir dari serial ini. Film inilah satu-satunya trilogy yang kami ikuti di bioskop. Saat masih berhubungan, aku selalu optimis bahwa hubungan kami akan bertahan, jauh melewati berakhirnya trilogy The Hunger Games. Tapi, ternyata aku salah. :’)

Karena kembaranku nggak pernah mengikuti serial The Hunger Games sebelumnya, dia tentunya lebih memilih untuk main kartu bersama teman-temannya, dan jadilah aku pergi ke bioskop seorang diri, membeli satu tiket untuk barisan paling belakang, dan sekotak besar popcorn untuk kunikmati sendirian. Dipikir-pikir, sejak awal aku selalu menonton film ini berdua, dan setelah hubungan kami berakhir, pantas juga kalau aku mengakhiri trilogy ini seorang diri.

Setelah film berakhir, lampu dalam studio kembali menyala terang, menampakkan wujud para penonton yang saat itu ada bersamaku, dimana sebagian besar dari mereka ternyata adalah teman-teman dan adik kelasku di Fakultas Kedokteran. Wah, gawat. Malu banget gue kelihatan nonton sendirian didepan teman-teman, bisa dikira ansos gue!!

Tapi karena dikira sombong lebih mengerikan, akhirnya aku memutuskan untuk menyapa salah seorang teman sekelasku yang saat itu bertiga dengan teman-temanku yang lain, sebut saja mereka Meri, Mary, dan Marie. *mereka nggak kembar kok*

Diluar dugaanku, mereka mengajakku untuk makan bersama. Karena saat itu kembaranku juga sudah makan malam, jadi daripada makan sendiri, aku memutuskan untuk pergi dengan mereka. Tidak ada salahnya, selain itu siapa tahu aku juga jadi bisa mengenal teman-temanku ini lebih dekat.

Waktu itu, aku mengikuti teman-temanku untuk makan di sebuah restoran Korea. Sesampainya disana, aku yang sok jagoan melihat-lihat menu ditempat itu, yang pada akhirnya mengingatkanku kenapa aku nggak pernah mau makan di restoran Korea. Akhirnya, aku memutuskan untuk nggak memesan apapun disana dan hanya mencicipi side dishes dan teh hijau saja, yang mungkin membuat suasana sedikit awkward waktu itu. Sorry, guys. Semoga pada nggak kapok ngajakin gue makan bareng. ;)

Berbincang-bincang dengan mereka, membuatku menyadari bahwa tanpa kehadiran sosok yang special disampingku, aku mempunyai teman-teman baik yang mau menemaniku. Yang mau mendengarkan cerita-ceritaku, dan yang mau menceritakan banyak hal kepadaku. Yang mau menerima setiap tindakan dan perkataanku, dan yang mau memaklumiku yang nggak bisa menerima makanan Korea. :p

Tak kusangka, melepaskan diri sendiri dari ikatan status malah memberikan kepadaku kebebasan untuk menjalin ikatan-ikatan baru dengan orang lain, atau mempererat ikatan yang sudah ada sebelumnya, semua tergantung pada keputusanku untuk lebih membuka diri kepada orang lain atau tidak. Aku yang selama ini merasa sudah cukup bila berada bersama Aria, baru menyadari betapa kecilnya diriku jika aku hanya membuka mataku pada seseorang yang terikat denganku dalam status “pacaran”, sebuah status yang bisa hilang kapan saja. Aku yang telah kehilangan pacar, masih memiliki keluarga dan teman-teman yang akan selalu bersamaku, terlepas dari status-ku. Ketika aku tidak lagi mengencangkan ikatan dengan pacar, aku jadi bisa lebih memusatkan diriku untuk mengencangkan ikatan-ikatan lain dengan keluarga dan teman-temanku.

Menjadi single kembali juga membuatku lebih menyadari jati diriku sendiri, apa yang kusukai, apa yang ingin kulakukan, dan apa yang menjadikan Kristanto Wongso seorang Kristanto Wongso. Ketika masih berhubungan dulu, seringkali apa yang kulakukan menimbulkan pikiran “Gimana kalau Aria nggak suka?”, atau “Ah, tapi Aria nggak suka, aku nggak usah pakai ini, deh”. Tapi sekarang, nggak ada lagi pikiran seperti itu, karena aku melakukan semuanya seperti kemauanku, tanpa niat untuk menghindari komentar atau menuai pujian dari orang lain.

Salah satu kenanganku mengenai hal ini adalah saat Aria mengatakan bahwa ia kurang suka saat aku mengenakan jaket kulit, karena norak. Sejak itu, aku nggak pernah lagi mengenakannya saat bertemu Aria, meskipun aku menyukai jaket tersebut. Setelah hubungan kami berakhir, nggak ada lagi yang berkomentar soal hal itu, dan teman-teman yang berteman denganku di Facebook atau mengikuti akun Instagram-ku mungkin bisa melihat frekuensi penggunaan jaket kulitku yang meningkat dalam 6 bulan terakhir ini.

Salah satu hal lain yang mempengaruhiku semenjak menjalin hubungan dengan Aria adalah hobi menulis dan membaca buku yang kudapat darinya. Memang mungkin setelah putus, setiap kali aku menulis atau membaca novel akan membangkitkan kenanganku bersamanya, tapi sayang dua hal ini sudah menjadi bagian yang sampai saat ini belum ada niat untuk kupisahkan dari diriku. Biarlah, toh kenangan hanyalah kenangan semata.

Terkadang, aku rindu jatuh cinta. Ada begitu banyak wanita yang menarik disekitarku, namun untuk saat ini, aku lebih memilih untuk berhati-hati agar nggak terjatuh dulu. Jadi jomblo juga nggak semenyedihkan kata orang lho. Nge-date nge-date sih boleh lah yaa. :P Buat teman-teman yang saat ini sudah punya pacar, pertahankan sebisa kalian. Buat yang saat ini masih jomblo, nikmati aja dulu. Disaat punya pacar nanti, mungkin teman-teman akan merindukan kejombloan itu. ;)

Sebuah tulisan yang cukup emo sebagai penutup tahun 2015, agar kita meninggalkan yang emo dibelakang, dan menyambut tahun 2016 yang menyenangkan. Happy New Year everyone!!


Cheers. J

Image courtesy from: http://anime.astronerdboy.com/wp-content/uploads/2015/06/x05-Archer-smiles.jpg

Comments

Popular Posts