The Heavy Crown

Yo everyone! Udah lama ya rasanya nggak baca blog ini? Aku minta maaf buat semua pembaca setia blog ini *kalau ada* karena udah lama banget nggak nulis disini. Kegiatan perkuliahan dan organisasiku di semester 4 ini benar-benar padat, jadi terpaksa blog ini kuanak tirikan. Tapi tenang aja, karena selama 4 bulan nggak update aku juga udah punya banyak stock ide buat kutulis disini, dan semoga aja aku bisa bayar hutang tulisan tersebut.

Sekarang ini, kegiatan perkuliahanku di tahun kedua FK udah selesai, dan sedang dalam masa relaksasi tubuh dan pikiran *baca: liburan*. Beberapa waktu yang lalu, kira-kira bulan Maret, kampus kami ngadain sejenis perlombaan antar mahasiswa FK UPH, namanya interhouse. Di tahun pertama masuk, setiap mahasiswa dibagi kedalam 4 house yang dibedakan dari warna dan tokoh kedokteran yang diwakilinya. Kira-kira kayak upacara penerimaan murid baru di Hogwarts gitu deh, ada Gryffindor, Ravenclaw, dll. Aku termasuk kedalam house Xavier dengan warna merah.

Waktu itu, kebetulan aku ditunjuk sebagai salah satu perwakilan Xavier untuk ikut dalam lomba debat interhouse. Seakan belum cukup sial, di hari-H, kami kebagian topik yang paling ingin kami hindari. Kami harus menjadi pihak oposisi dalam tema "Informed consent sebagai prosedur medis yang wajib dilakukan dan tidak boleh dilewati". Informed consent sendiri maksudnya adalah menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang ia derita dan alternatif-alternatif pengobatan yang bisa diberikan untuk menyembuhkannya, serta meminta persetujuan pada pasien untuk melakukan prosedur penyembuhan tersebut pada mereka. Sebagai contoh, ada pasien datang dengan kasus amandelnya membengkak. Sebagai dokter kita akan menyarankan kepada pasien untuk menjalani operasi pengambilan amandel tersebut, tapi kalau pasien menolak ya kita nggak bisa apa-apa. Kita nggak bisa serta-merta meriksa pasien amandel, terus langsung ngomong "Ibu, siapin uang Rpxxx,- segera ya. Sekarang kita akan operasi buat ngambil amandel ibu". Yang ada pasien bisa kejang-kejang atau serangan jantung ditempat.

Bayangin aja, masa kami harus melawan ilmu yang begitu prinsip di dunia kedokteran? Masa kami harus bilang kalau informed consent itu nggak perlu? Singkat cerita aja, akhirnya kami mendapat beberapa ide untuk lomba ini, misalnya kalau prosedur ini boleh dilewatin dalam keadaan gawat darurat. Bayangin aja ada pasien kecelakaan masuk UGD, terus kita masih sempat-sempatnya "Pak, luka bapak gede banget. Lukanya saya jahit ya, Pak? Pak? Kok nggak nyahut?".

Dalam proses pencarian ide dari topik ini, ada banyak hal yang bisa kupelajari, tapi yang terutama, adalah bahwa seorang dokter itu memegang "kuasa" atas nyawa orang lain. Ambil contoh dari proses informed consent diatas. Kita bisa aja nggak usah minta persetujuan pasien dengan alasan "Kenapa harus minta persetujuan? Kita yang ngerti prosedur medis, kalau pasien itu nggak diobatin dia bisa meninggal! Masa kalau dia nggak setuju untuk diobati kita mesti biarin dia meninggal pelan-pelan?".
Atau justru sebaliknya, kita bisa aja nggak ngomong yang sejujurnya ke pasien, sehingga pasien menolak terapi, lalu kalau pasien sampai meninggal, kita tinggal bilang "Pasien nggak menyetujui informed consent." Intinya, nyawa pasien ada ditangan kita. Hal ini juga berlaku pada profesi lain, misalnya petani memegang kuasa atas nyawa orang lain dalam bidang pangan, atau guru dalam bidang pendidikan.

Seperti ilmu fisika zaman SMP dulu, ada "kuasa" maka ada "beban". Kita yang punya "kuasa" atas orang lain, punya "beban" untuk melakukan yang terbaik bagi mereka. Kita yang punya kemampuan wajib melakukan juga untuk orang lain yang tidak punya kemampuan untuk itu. Kayak kata Uncle Ben, "With great power, comes great responsibility". Ini yang disebut noblesse oblige, kewajiban orang-orang berkuasa untuk membantu yang tidak mampu. Kita bagai memakai sebuah mahkota yang berat dikepala, yang memaksa kita untuk sesekali melihat orang-orang dibawah.

Jadi, jangan terlalu meninggikan diri sendiri atau merendahkan orang lain, karena seringkali kita bergantung pada siapapun, termasuk yang paling rendah derajat sosialnya. Sedikit menyinggung Pemilu yang bakal diselenggarain sebentar lagi, pilihlah pemimpin yang kalau udah ber"kuasa" nanti, tetap nggak akan melupakan "beban" mereka, yaitu kita sebagai rakyat yang mereka pimpin.

Setiap orang berkuasa atas orang lain, dan setiap orang berada dibawah kekuasaan orang lain. Kita hidup didunia dimana semua orang berlomba-lomba mencari kekuasaan, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya sudah menguasai seseorang, diri mereka sendiri.

Cheers. :)


Comments

Popular Posts