K3.1. Sudah Terbiasa Menunggu

Yo, everyone! Mulai tulisan kali ini dan mungkin untuk beberapa tulisan kedepan, aku pengen menuliskan sebuah catatan-catatan kecil, mungkin bisa disebut mini series (?) dengan judul "Koas itu Koas Kalau...", disingkat K3. Catatan kecil ini akan mengisahkan secara umum hal-hal yang kualami selama koas, yang kira-kira bisa mendefinisikan seperti apa kehidupan seorang koas itu. Hal-hal yang membuat seorang koas sungguh-sungguh menjadi seorang koas. Sebelum catatan kecil ini menjadi sebuah tulisan yang terlalu panjang, langsung aja kita masuk ke tulisan pertama K3!!! :D

Menurut teman-teman, apa kegiatan utama dalam keseharian seorang koas? Apa itu mengerjakan tugas? Atau mencicil bahan persiapan ujian? Bukan. Kegiatan yang memakan waktu paling banyak dalam kehidupan per-koas-an adalah menunggu. Lebih tepatnya, menunggu dalam ketidakpastian. Buat para jomblo yang menganggap menunggu kepastian dari si doi itu menyesakkan dan bikin galau, percayalah perasaan itu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan gejolak dalam dada yang kami para koas rasakan saat diharuskan untuk menunggu.

Sebenarnya, apa sih yang ditunggu sehingga membuatnya menjadi makanan sehari-hari bagi koas? Pertama, menunggu kehadiran preseptor (dokter pembimbing), entah itu dengan tujuan untuk praktek, konsultasi, presentasi, maupun untuk hal sepele seperti meminta tanda tangan preseptor di log book koas. Nggak banyak dokter yang akan datang tepat waktu untuk janjinya dengan koas, paling nggak telat 15 menit. Alasannya pun macam-macam, mulai dari kondisi praktek beliau yang terlalu ramai hingga alasan menyebalkan seperti "Maaf dek, saya lupa".

Pernah satu kali, aku dan seorang teman sekelompokku sedang menunggu preseptor kami di poliklinik beliau, dimana kami dijadwalkan untuk bertemu jam 1 siang. Kondisi kami yang saat itu baru selesai makan siang, ditambah dengan AC dingin dalam ruang poliklinik dan kursi yang nyaman, membuat kami menunggu preseptor kami dalam keadaan tidak sadar penuh. 15 menit, 30 menit, 45 menit berlalu, preseptor kami pun tidak kunjung tiba. Tubuhku yang tak kuasa menahan kantuk akhirnya tumbang, dan aku benar-benar tidur siang selama 20-30 menit di poliklinik. Aku udah nggak tahu lagi gimana keadaan temanku saat itu, pokoknya aku ngantuk banget. Akhirnya, preseptor kami tiba pukul 2:30 sore, karena saat itu beliau harus menjalani tindakan operasi. Alasannya masuk akal, tapi tetap aja bikin keki. :\

Sebaliknya, menunggu pasien. Nggak jarang juga kami beserta preseptor sudah bersiap di poli, namun belum ada satupun pasien yang mendaftar. Yang parahnya, pasien seringkali baru mulai ramai mendekati akhir dari jam praktek dokter. Misalnya praktek dimulai pukul 9-12 siang, maka pasien baru mulai mendaftar kira-kira pukul 10:30, bahkan ada yang pernah mendaftar pukul 11:58. Udah nganggur di awal, telat lagi selesainya. Nasib deeh...

Menunggu yang berikutnya adalah menunggu izin. Izin untuk makan siang, izin untuk pulang, izin untuk bertanya, bahkan izin untuk duduk. Inilah gunanya jam tangan yang dibawa oleh koas, selain untuk menghitung tanda-tanda vital pasien, juga untuk memberikan "kode" buat preseptor. Kira-kira jam 12 waktu makan siang, mulailah kami melihat-lihat jam tangan untuk mengingatkan preseptor bahwa saat ini ada itik-itik kelaparan disamping beliau, begitu pula saat jam pulang. Kalau kaki mulai pegal setelah 2-3 jam berdiri, mulailah kami meregang-regangkan tubuh atau memutar-mutar kaki untuk menunjukkan hayati yang lelah ini. :(

Kira-kira begitulah yang kami para koas rasakan sepanjang kepaniteraan kami. Menunggu preseptor, menunggu pasien, dan menunggu izin yang belum tentu akan tiba. Sama kayak menunggu jodoh, cuma bedanya, jodoh nggak akan kemana-mana, sedangkan preseptor mungkin aja nggak akan datang. XD

Cheers. :D

 
 Image courtesy from:
http://www.foreverfaith.co.uk/wp-content/uploads/2015/04/tick-tock-Google-Search.png

Comments

Popular Posts