The Second Cup of Coffee

Yo everyone! Siapa diantara teman-teman yang hobi ngopi? Bukan ngopi kaya nyontek PR teman, tapi ngopi... ya ngopi. Minum kopi. Sejak zaman mahasiswa hingga sekarang, beberapa kejadian dan godaan menjadikanku seseorang yang sepertinya akan sulit hidup tanpa kopi. Secangkir kopi di pagi hari itu udah jadi semacam booster untuk menyelesaikan berbagai kegiatanku selama 24 jam kedepan. Bukan berarti kalau nggak ngopi seharian aku bakal stres atau sakit sih, cuma ya terkadang "rem"-nya blong aja gitu. Ngerti lah, ya? ;)

Awalnya, satu cangkir kopi sudah cukup untuk membuka mataku sepanjang hari, bahkan hingga sepanjang malam. Namun, tugas yang menumpuk, materi ujian yang belum dikuasai, atau jaga malam di rumah sakit akhirnya membuat satu cangkir itu bertambah menjadi satu gelas. Setelah menjalani masa pendidikan kedokteran selama kurang lebih 6 tahun bersama, kurasa saat wisuda nanti aku perlu membuat ucapan terima kasih khusus untuk kopi.

Saat ini, aku sedang dalam masa liburan setelah menyelesaikan semua ujianku. Aku jadi bisa memulai hariku dengan kopi tanpa perlu dikejar-kejar oleh waktu. Kopi hitam, kopi susu, panas, dingin, atau apapun itu. Kupikir dengan berakhirnya masa pendidikan yang memaksaku begadang, aku sudah tidak perlu kopi lagi untuk membuatku terjaga. Nyatanya, kurasa tubuhku tetap membutuhkan kafein sebagai salah satu komponen untuk mempertahankan homeostasis (keseimbangan zat-zat dalam tubuh). 

Aku pun membuat tulisan ini di salah satu cafe yang menyediakan kopi didekat tempat tinggalku. Sembari menggali inspirasi, mataku sesekali melirik kerumunan orang yang datang ke cafe ini dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang datang sendiri dan berkutat dengan laptop-nya, ada sekelompok ibu-ibu arisan, ada dua orang pria berpakaian rapi yang sedang membahas suatu proyek bisnis. Ada pasangan yang datang berdua dan ngopi sambil pegang - pegangan tangan juga. Kopi gue makin pahit deh rasanya. *It's a joke, guys.*

Setiap orang yang datang dengan kepentingan mereka masing-masing membuatku jadi bertanya-tanya apa datang ke cafe ini juga merupakan agenda mereka. Apa kecapan kafein di bibir juga yang membawa kondisi prima dalam setiap kegiatan mereka? Apa segelas kopi cukup untuk tetap membuat mata mereka terbuka? 

Apa kopi sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka? Atau rutinitas mereka menjadi bagaikan kopi itu sendiri? Pahit, tapi tetap dijalani karena kebutuhan. Pahit, tapi tetap dijalani karena ada kenikmatan sendiri didalamnya. Pahit, tapi tetap dijalani karena... why not?

Semakin sering kita menjalani hal yang serupa, kita akan menjadi semakin terbiasa dengan keadaan tersebut, paling nggak tubuh kita yang lama kelamaan akan mampu beradaptasi. Jari-jari kita akan bergerak, kaki-kaki kita akan melangkah, dan lidah kita akan mengeluarkan kata-kata yang seakan-akan sudah terprogram dalam diri kita. Hingga akhirnya, semuanya akan terasa begitu hambar dan tidak memberi rasa yang baru untuk kita cicipi. Seperti secangkir kopi yang tidak lagi bisa menjaga penuh kesadaran kita.

Aah, tulisanku udah mulai ngaco. Mungkin aku perlu gelas kopiku yang kedua.

Kalau kamu?

Cheers. :)

Image courtesy from: https://coffeecorner.com/wp-content/uploads/2017/10/black-coffee.jpg

Comments

Popular Posts