Challenge Day 19: 100%

Yo everyone! Banyak yang bilang kalau punya pandangan jauh ke depan itu bagus. Kalau kita udah punya angan mau jadi apa saat kita dewasa nanti, kita tentunya jadi tahu apa aja hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan angan-angan tersebut. Nggak lupa juga kita juga jadi bisa memperhitungkan untuk menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kita dalam proses pencapaian mimpi kita tersebut. Tapi, aku punya sebuah pengalaman mengenai visi jauh ke depan ini yang sampai saat ini masih menyisakan penyesalan dalam diriku.

Sejak kecil, aku sudah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter. Semakin aku bertambah dewasa dan mengetahui lebih banyak hal, aku akhirnya secara spesifik memutuskan untuk menjadi seorang dokter spesialis Kulit & Kelamin (Sp.KK.) setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran umum. Aku juga memasukkan spesialis Kejiwaan (Sp.Kj.) atau psikiater sebagai alternatif kedua jika seandainya aku nggak berhasil meraih tujuan utamaku. Sebenarnya, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan aku nggak keberatan untuk mempelajari yang manapun.

Seperti kataku dalam paragraf pertama, memiliki tujuan yang terpatri dalam diriku membuatku mengerti mana hal yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak untuk mewujudkan cita-citaku ini. Sayangnya, sepertinya aku "terlalu memahami" skala prioritas itu.

Dalam perkuliahan kedokteran saat ini, kami belajar dalam sistem blok, dimana setiap blok akan membahas satu sistem dalam tubuh manusia, seperti sistem pernafasan, sistem sirkulasi, termasuk pelajaran mengenai kulit-kelamin dan kejiwaan. Aku yang sejak awal sudah menetapkan tujuan, akhirnya sedikit berleha-leha dalam pelajaranku selama kuliah, kecuali dalam mata kuliah kulit dan kejiwaan. Akibatnya, nilaiku selama masa perkuliahan nggak pernah menyentuh angka yang benar-benar fantastis, selalu biasa-biasa aja biarpun untungnya aku nggak pernah terpaksa mengulang mata kuliah.

Parahnya, cara belajarku yang agak santai ini terbawa juga hingga saat-saat yang krusial, yaitu blok kulit dan kejiwaan. Aku hanya belajar sedikit lebih giat dalam blok-blok tersebut, sehingga biarpun lebih tinggi dari nilai-nilaiku di blok lain, angkanya tetap bukan angka yang terlalu membanggakan. Bagus, tapi nggak terlalu bikin senang. Akhirnya, setelah nilai semua blok digabungkan, IPK-ku pun tetap nggak bisa dibilang terlalu memuaskan, standar.

Aku mulai menyadari hal ini setelah perkataan seorang dokter tutor-ku di semester 5, dr. Neneng, yang mana udah terlambat banget waktu itu.

"Kalian boleh mikir mau jadi spesialis ini, spesialis itu, silahkan. Tapi, sekarang ini kalian sedang dalam perjalanan untuk menjadi seorang dokter umum, lakukanlah dulu yang terbaik di jalan yang sedang kalian tempuh ini. Nggak ada yang tahu masa depan kita, siapa tahu amit-amit cita-cita yang udah kita pikirin dari awal nggak bisa terwujud? Paling nggak kita masih punya nilai-nilai bagus di blok lain."

Kira-kira begitulah nasihat beliau. Berkat beliau aku sadar betapa pentingnya punya sebuah pedang kedua, sebuah plan B. Seandainya kita gagal di rencana pertama, langkah kita tetap nggak akan terhenti semudah itu. Aku juga belajar dari beliau untuk "hidup di masa sekarang". Masa lalu hanya kenangan, masa depan adalah tujuan, tapi keduanya sangat tergantung dari kehidupan kita di masa sekarang. Ingin menjadikan masa lalu sebagai kenangan yang indah atau yang kelam kembali lagi ke diri kita masing-masing. Ingin mewujudkan masa depan yang cerah atau suram pun ditentukan dari apa yang kita lakukan mulai dari detik ini. Every second counts. Make it worth.

Cheers. :D

Image courtesy from: http://communicatebetterblog.com/wp-content/uploads/2014/03/971309_621291434558538_204597783_n.jpg

Comments

Popular Posts